Jumat, 23 April 2010



LAPORAN PRAKTIKUM

MIKROBIOLOGI TERAPAN

UJI FENOL KOEFISIENT






Oleh :

Nuryani Rahmawati (073244002)

Riris Nurul L (073244006)

Restu Amanda P (073244012)

Qomaruz Zaman (073244020)

Hana Rusdiana P (073244021)

Fatriyatun Nikmah (073244023)

Suharnowo (073244032)

JURUSAN BIOLOGI

FAAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2010



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Sedangkan antiseptik didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan dan pakaian.

Pada dasarnya ada persamaan jenis bahan kimia yang digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan. Tetapi tidak semua bahan desinfektan adalah bahan antiseptik karena adanya batasan dalam penggunaan antiseptik. Antiseptik tersebut harus memiliki sifat tidak merusak jaringan tubuh atau tidak bersifat keras. Terkadang penambahan bahan desinfektan juga dijadikan sebagai salah satu cara dalam proses sterilisasi, yaitu proses pembebasan kuman. Tetapi pada kenyataannya tidak semua bahan desinfektan dapat berfungsi sebagai bahan dalam proses sterilisasi. Telah dilakukan perbandingan koefisien fenol turunan aldehid dan halogen terhadap mikroorganisme Staphylococcus aureus yang resisten terhadap ampisilin dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan dari disinfektan turunan aldehid dan halogen yang dibandingkan dengan fenol dengan metode uji koefisien fenol .

Uji fenol koefisien merupakan uji yang digunakan untuk membandingkan aktifitas antimicrobial suatu senyawa kimia dibandingkan dengan fenol pada kondisi yang standar. Sejumlah pengenceran seri dari bahan kimia yang akan di uji dilakukan dengan pembanding fenol murni yang dilakukan pada tabung reaksi steril. Sejumlah kultur murni mikroorganisme standar unuk tes seperti Staphylococcus aureus atau Salmonella typhi ditambahkan pada setiap tabung. Subkultur dari mikroorganisme tersebut dibuat dari setiap pengenceran desinfektan uji dalam media cair steril pada interval 5,10 dan 15 menit setelah mikroorganisme dimasukkan pada desinfektan. Semua subkultur diinkubasi pada suhu 37 ÂșC selama 48 jam dan diamati keberadaan atau ketidak beradaan pertumbuhannya.

Fenol koefisien diperoleh dengan membagi pengenceran tertinggi dari desinfektan atau senyawa kimia uji yang mematikan mikroorganisme dalam 10 menit tetapi tidak pada 5 menit dengan pengenceran fenol tertinggi yang membunuh mikroorganisme dalam 10 menit, bukan pada 5 menit. Fenol koefisien yang angkanya tidak lebih dari satu menunjukkan bahwa agen atau senyawa kimia uji tersebut sama efektifnya atau sedikit efektif dibandingkan fenol. Koefisien fenol lebih besar sari 1 menunjukkan bahwa senyawa kimia tersebut lebih efektif dibandingkan dengan fenol jika dilakukan pada kondisi yang sama. Fenol koefisiennya 5 menunjukkan bahwa senyawa uji efektifitasnya 5 kali lebih besar dibandingkan fenol.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian eksperimental dengan judul “Fenol Koeficient” untuk membandingkan efektifitas suatu desinfektan dan untuk mengetahui keefektifan suatu desinfektan (fenol dan wipol) terhadap pertumbuhan bakteri. Sehingga diharapkan dapat mengetahui konsep keefektifan suatu desinfektan (fenol dan wipol) terhadap pertumbuhan bakteri.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah efektifitas suatu desinfektan?
  2. Bagaimanakah keefektifan suatu desinfektan (fenol dan super pel) terhadap pertumbuhan bakteri ?

C. TUJUAN

Tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui efektifitas suatu desinfektan.
  2. Untuk mengetahui keefektifan suatu desinfektan (fenol dan super pel) terhadap pertumbuhan bakteri.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Desinfektan

Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Desinfektan ini tersedia secara komersial yang masing-masing memiliki karakteristik kimiawi, toksisitas, biaya dan penggunaan tertentu. Desinfektan merupakan bahan kimia yang dapat mematikan mikroorganisme yang sedang dalam keadaan tidak aktif, sehingga hanya mematikan bentuk vegetatif dari mikroorganisme, tetapi tidak efektif terhadap spora. Desinfektan dapat mencegah infeksi dengan jalan penghancuran atau pelarutan jasad renik yang patogen.

Pengetahuan tentang desinfektan perlu dikembangkan, karena tidak semua desinfektan dapat digunakan untuk pengendalian mikroorganisme secara umum. Desinfektan tertentu hanya cocok untuk mengendalikan mikroorganisme tertentu, tidak mampu mengendalikan mikroorganisme lain. Beberapa jenis desinfektan ada yang hanya efektif pada lapisan luar saja, ada yang memiliki daya kerja yang luas terhadap mikroorganisme dan ada pula yang hanya bisa mengatasi sejumlah kecil mikroorganisme. Pengguna desinfektan dituntut bisa melakukan pilihan secara tepat, sehingga minimal harus mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing desinfektan. Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap desinfektan. Hal ini disebabkan karena dinding spora bersifat impermeabel dan asam ribonukleat di dalam protoplasma memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh buruk dari desinfektan.

Desinfektan berbeda dengan antibiotik, karena desinfektan memiliki toksisitas selektif yang rendah, keduanya bersifat toksik tidak hanya pada mikroba patogen tetapi juga terhadap sel inang. Oleh karena itu, desinfektan hanya digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada lingkungan mati.

1. Sifat-sifat penting Desinfektan

Beberapa sifat-sifat penting desinfektan, antara lain :

  • Harus memiliki sifat antibakterial yang luas.
  • Tidak mengiritasi jaringan hewan atau manusia.
  • Memiliki sifat racun yang rendah, tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak.
  • Memiliki daya tembus yang tinggi.
  • Tetap aktif meskipun terdapat cairan tubuh, darah, nanah dan jaringan yang mati.
  • Tidak mengganggu proses kesembuhan.
  • Harga murah, karena biasanya diperlukan dalam jumlah yang besar.

Desinfektan, selain memiliki sifat-sifat tersebut di atas, maka harus memiliki juga sifat-sifat berikut :

  • Mampu menembus rongga-rongga, liang-liang, maupun lapisan jaringan organik, sehingga memiliki efek mematikan mikroorganisme yang lebih tinggi.
  • Harus bisa dicampur dengan air, karena air merupakan pelarut yang universal dan dengan senyawa-senyawa lain yang digunakan untuk desinfeksi.
  • Harus memiliki stabilitas dalam jangka waktu yang panjang.
  • Efektif pada berbagai temperatur. Walaupun desinfektan daya kerjanya akan lebih baik pada temperatur tinggi, namun desinfektan yang bagus adalah desinfektan yang daya kerjanya tidak menurun jika temperaturnya menurun. Pada umumnya desinfektan bekerja baik pada temperatur di atas 650F. Klorin dan Iodifor sebagai desinfektan bekerja baik tidak lebih dari 1100F.

2. Macam-macam Desinfektan dan Antiseptika

Desinfektan bisa digolongkan berdasarkan cara fisis dan kimiawi. Secara fisis, yang penting adalah penggunaan panas dan sinar. Panas dapat diperoleh dengan dilewatkan melalui pemanas atau dengan air yang dipanaskan, kemudian disemprotkan ke tempat yang disucihamakan. Jenis sinar yang digunakan dalam sterilisasi adalah sinar ultraviolet dan sinar gamma. Desinfektan bisa digunakan dengan variasi cara, antara lain : spray, sabun, aerosol atau fumigan.

Secara kimiawi, terdapat beberapa jenis senyawa desinfektan yang tersedia secara komersial dengan karakteristik pemakaian tertentu, yaitu :

  • Kresol, merupakan biosida yang murah dan efektif bila digunakan untuk bangunan dan tanah, termasuk dinding dan peralatan rumah, bersifat korosif, toksik pada konsentrasi tinggi dan meninggalkan warna. Desinfektan ini sangat efektif mengatasi jamur, virus, bakteri, karena mampu mematikan mikroorganisme tersebut.
  • Fenol organik, cocok digunakan untuk tempat tinggal dan untuk desinfeksi peralatan di dalamnya. Fenol efektif melawan bakteri, virus dan fungi. Fenol dan beberapa senyawa fenolik mempunyai kegunaan sebagai antiseptika, desinfektan atau bahan pengawet.

Golongan ini berdaya aksi dengan cara denaturasi dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 0,1-5%. Aplikasi proses desinfeksi dilakukan untuk virus, spora tetapi tidak baik digunakan untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi. Umum digunakan sebagai dalam proses desinfeksi di bak mandi, permukaan dan lantai, serta dinding atau peralatan yang terbuat dari papan/kayu. Adapun keunggulan dari golongan golongan fenol dan fenol terhalogenasi adalah sifatnya yang stabil, persisten, dan ramah terhadap beberapa jenis material, sedangkan kerugiannya antara lain susah terbiodegradasi, bersifat racun, dan korosif. Golongan garam amonium kuarterner Beberapa bahan kimia yang terkenal dari golongan ini antara lain benzalkonium klorida, bensatonium klorida, dan setilpiridinium klorida (Rismana, 2008 dalam Imbang DKK, 2000).

Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3 gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air (Aditya, 2009 dalam Imbang DKK, 2000).

Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+. Pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik, yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan anionnya.

  • Amonium kuarterner, dianjurkan untuk mendesinfeksi. Senyawa ini memiliki dua bagian pada struktur kimianya, satu bagian bersifat hidrofilik dan bagian lain bersifat hidrofobik. Desinfektan ini efektif melawan bakteri gram negatif maupun positif, fungi, virus, tetapi tidak efektif melawan virus PMK ataupun Mycobacterium paratuberculosis, bakteri penyebab John’s Disease. Keberadaan materi organik, seperti feses akan menurunkan aktifitasnya. Desinfektan ini tergolong mudah larut dalam air, sangat efektif menghilangkan bau-bauan, daya kerja tinggi dan tidak berefek pada kulit manusia, meskipun juga menyebabkan karat. Keunggulan lain dari desinfektan ini adalah mudah menembus bagian-bagian sebelah dalam yang menjadi sasaran sanitasi. Kelemahan desinfektan ini adalah menyebabkan karat dan memiliki sifat racun yang tinggi.
  • Klorin, banyak digunakan di rumah potong, disamping itu pula digunakan untuk menjernihkan air pada peternakan, air minum, sanitasi telur, desinfeksi abattoir (RPH) dan RPA serta kandang ayam. Kaporit atau hipoklorit sering untuk sanitasi sapi perah dan lebih aktif dalam air hangat. Efektif melawan bakteri, banyak virus, terutama parvovirus. Bisa dicampur dengan sabun, tetapi jangan dicampur asam. Aktivitasnya yang kuat menurun dengan adanya materi organik, terutama amoniak atau senyawa-senyawa amino. Desinfektan ini termasuk golongan halogen keras yang bisa mematikan bakteri, virus dan jamur dalam waktu relatif singkat. Kelemahan desinfektan ini adalah mudah menyebabkan perkaratan pada peralatan yang berasal dari bahan metal serta dapat merusak kulit manusia. Larutan chlorin efektif sebagai bakterisidal yang digunakan dalam kolam renang. Khlor (Cl2} dalam air membentuk asam hipoklorit (HOCl) dan asam Hidrokhloride (HCl) dengan reaksi : Cl2 + H2O ↔ HOCl. Asam HOCl selanjutnya berperan sebagai desinfektan, bereaksi dengan bervariasi senyawa, baik dengan senyawa anorganik maupun organik atau terurai menjadi menjadi ion H+ dan OCl-, dengan reaksi : HOCl → H+ + OCl- Derajat ionisasi dipengaruhi oleh pH. Ionisasi terjadi pada pH asam sampai netral, sedangkan pada pH alkalis, ionisasi akan dihambat.
  • Formalin/formaldehid, cocok untuk fumigasi telur yang terdapat di dalam almari yang dirancang khusus dan harus hati-hati terhadap petugas yang menggunakannya, karena formalin merupakan senyawa korosif dan bersifat karsinogenik. Keunggulan dari desinfektan ini adalah mudah menembus bagian-bagian sebelah dalam yang menjadi sasaran sanitasi. Gas dapat diperoleh dengan jalan mencampur Kalium Permanganat dengan formalin. Supaya efektif, maka fumigasi dilakukan pada suhu 30o–60oC dan kelembaban di atas 75%. Fumigasi ini sangat efektif untuk desinfeksi kandang ayam, dengan syarat kandang dikosongkan, seluruh sela-sela ditutup tirai plastik cukup rapat, dan didiamkan selama 3 – 5 hari. Kandang akan terbebas dari bakteri, jamur dan virus yang mungkin bisa menyebabkan wabah penyakit.
  • Iodofor, bisa digunakan sebagai antiseptika dan desinfektansia. Iodofor adalah kombinasi iodine dan agen-agen yang larut di dalamnya. Iodofor akan membebaskan iodin bebas jika dilarutkan dalam air. Iodofor merupakan desinfektan yang baik, namun tidak efektif bila ada senyawa organik. Sifat Iodofor kurang toksik dibandingkan desinfektan yang lain. Kekurangannya adalah meninggalkan bekas warna pada pakaian dan permukaan yang lain. Iodine bebas bersifat toksik pada kulit, sehingga dalam penggunaannya Iodine dikombinasikan dengan senyawa organik yang lain dan disebut Iodophor. Contoh Iodophor adalah povidone-iodine (Betadine) yang sering digunakan sebagai antiseptik di rumah sakit. Iodophor merupakan desinfektan yang termasuk golongan halogen. Bahan ini merupakan sintetis dari yodium dan zat organis yang memiliki kemampuan mikrosidal. Desinfektan ini cocok untuk mengatasi semua bakteri gram positif maupun gram negatif, virus dan jamur. Pada konsentrasi 50 – 75 ppm digunakan sebagai desinfektan pada inkubator, kandang ayam dan RPA. Pada konsentrasi 12,5 – 25 ppm untuk sanitasi telur. Pada konsentrasi yang lebih rendah dari 12,5 ppm digunakan untuk antiseptika, dan dicampurkan dalam air minum ayam.

Dikenal juga berbagai antiseptika dan desinfektan bersifat asam, antara lain :

  • Asam anorganik, HCl dan H2SO4 0,1 N telah dipakai untuk desinfeksi ruangan yang tercemar tinja. Keduanya korosif, sehingga tidak dianjurkan. Asam borat 2 – 5% digunakan untuk jaringan kulit. Bersifat tidak merangsang jaringan, namun daya mematikan jasad reniknya tidak besar.
  • Asam organik, seperti asam salisilat dan benzoat banyak dipakai sebagai salep. Bersifat germisid lemah, melunakkan tanduk dan dapat membunuh jamur.

Beberapa alkali juga bisa digunakan untuk desinfeksi. Contoh-contoh alkali yang bisa berperan sebagai desinfektan, antara lain :

  • Caustic soda/ NaOH (sodium hydroxide), sangat aktif jika dicampur dengan air panas, namun bersifat merusak cat, plitur dan tekstil. Perlu melindungi diri pada saat penggunaan, dengan pakaian, sarung tangan, sepatu karet.
  • CaO (lime/Quiclime) atau gamping, jika ditambah dengan air maka CaO menjadi Ca(OH)2, yang bersifat melarutkan kuman. Gamping banyak dipakai untuk lantai maupun halaman. Apabila berlebihan, akan merusak kuku babi, kambing maupun sapi. Gamping tidak bisa membunuh spora kuman anthrax dan Clostridium. Ca(OH)2 di dalam air dengan perbandingan 1 : 4, menghasilkan milk of lime, digunakan untuk desinfeksi lantai tercemar tinja dan guna mencapai hasil yang memuaskan, maka penggunaan minimal 2 jam. Larutan campuran CaO dengan belerang yang direbus, bisa dipakai sebagai pembunuh parasit.
  • Khlorhexidine (Nolvasan-S), merupakan sediaan khlor sintetik, alkalis dan mudah larut dalam air serta tidak bersifat toksik. Secara luas bersifat virusidal, terutama terhadap penyebab rabies, efektif melawan bakteri gram positif maupun negatif. Daya kerja tidak dipengaruhi oleh darah, nanah, percikan air susu dan cairan jaringan. Khlor sintetik dipakai untuk desinfeksi alat-alat pemerahan dan ambing. Larutan 0,2 – 5%, digunakan untuk teat dipping. Kadang-kadang khlorhexidine dikombinasi dengan surfaktan, zat warna atau bahan lain, misal : gliserin. Sediaan khlor yang juga banyak dipakai, antara lain : sodium dan kalsium hipoklorit, kaporit, khloramin-T dan iodine monokhloride.

B. Keampuhan desinfektansia

Desinfektansia sebagai bahan antimikrobial memiliki kekuatan keampuhan membunuh bakteri tertentu. Guna mengetahui keampuhan bahan antimikrobial seringkali digunakan istilah koefisien fenol, yaitu keampuhan antimikrobial tertentu yang dibandingkan dengan keampuhan yang dimiliki fenol. Koefisien fenol kurang dari satu, berarti antimikrobial tersebut kurang efektif dibandingkan fenol. Sebaliknya koefisien lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa antimikrobial tersebut lebih ampuh daripada fenol.

Hasil penelitian Rahayu (2006), dalam Imbang (2000), menunjukkan bahwa keampuhan alkohol, etanol 70% terhadap bakteri penyebab mastitis, yaitu Staphylococcus aureus, cukup besar, yaitu 4 kali kekuatan fenol. Tabel 2.1., meyajikan hasil uji koefisien fenol sensitifitas etanol 70% terhadap Staphylococcus aureus.

Tabel 2.1. Hasil Uji Koefisien Fenol Sensitifitas Etanol 70% Terhadap

Staphylococcus aureus.

Pengenceran

5 menit

10 menit

15 menit

Alkohol 70%

1 : 300

1 : 350

1 : 400

1 : 450

Hidup

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Mati

Fenol

1 : 90

1 : 100

Hidup

Hidup

Hidup

Mati

Mati

Mati

Kekuatan etanol dalam membunuh Staphylococcus aureus jauh lebih besar daripada fenol. Etanol menunjukkan aktivitas antimkroba yang cepat dengan spektrum luas melawan bakteri vegetatif, virus, jamur, tetapi tidak sporosidal. Sel Staphylococcus aureus sebagai penyebab mastitis tidak memiliki spora sehingga akan mati dengan pemberian etanol.

Diperlukan pertimbangan konsentrasi dan waktu kontak yang cukup pada penggunaan desinfektan, sehingga penggunaan desinfektan menjadi aman, efisien dan efektif. Penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi dan kontak waktu yang terlalu lama menyebabkan desinfektan menjadi tidak praktis, mahal, membakar kulit dan berbahaya bagi ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etanol dengan konsentrasi 70 % secara efektif bisa digunakan untuk dipping puting sapi perah post pemerahan guna mencegah kejadian mastitis, dengan lama pencelupan 10 menit. Pada penggunaan etanol 90%, zone hambat terhadap Staphylococcus aureus lebih kecil dibandingkan etanol 70%. Hal ini berkaitan dengan aktivitas katalitik air yang menurun, karena jumlah air dalam larutan berkurang pada etanol 90%. Etanol dengan konsentrasi di bawah 50% tidak efektif membunuh bakteri Staphylococcus aureus.

Level kaporit yang menghasilkan daya hambat tertinggi terhadap Staphylococcus aureus dicapai pada level 60 ml/L, yang merupakan konsentrasi tertinggi dalam percobaan. Sedangkan pada Iodofor, dicapai pada level 10 ml/L, yang merupakan level terendah dari perlakuan yang dicobakan. Iodofor 10 ml/L menghasilkan daya hambat yang tertinggi terhadap Staphylococcus aureus, karena pada konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi yang paling efektif bagi Iodophor sebagai antiseptik pada kulit puting dan bekerja dengan cara inaktivasi protein mikroba. Pada level Iodophor yang lebih tinggi dari 10 ml/L daya hambat Iodophor terhadap Staphylococcus aureus menurun. Hal ini disebabkan konsentrasi antiseptika yang tinggi akan mengurangi jumlah air, padahal air memiliki peran aktivitas katalitik terhadap denaturasi protein mikroba.

C. Koefisien Fenol

Koefisien fenol adalah kemampuan desinfektan untuk membunuh bakteri dibandingkan dengan fenol. Uji fenol adalah membandingkan aktivitas antimikroba dari komponen-komponen kimia dengan fenol sebagai standar uji. Pengenceran desinfektan secara bertahap dan fenol ditempatkan dalam tabung reaksi steril, kultur murni bakteri yang digunakan sebagai standar ditambahkan pada setiap tabung. Bakteri itu tersbut dimasukan pada setiap tabung dengan interval waktu 5, 10, dan15 menit .Semua subkultur dieramkan pada suhu 37O selama48 jam dilihat kekeruhanya. Pada prinsipnya uji koefisien fenol merupakan Perbandingan aktivitas fenol dengan pengenceran baku terhadap aktivitas sampel dengan pengenceran tertentu MIC ( konsentrasi terendah dimana pertumbuhan bakteri terhambat ) suatu antiseptik terhadap bakteri tertentu. Metode pegenceran bertingkat dengan mengurangi konsentrasi zat sebanyak setengah dari konsentrasi awal dengan volume yang sama. Metode turbidimetri Menentukan takaran dengan melihat kekeruhan yang terjadi setelah percobaan dilakukan V1 C1 = V2 C2.

Hasil kali konsentrasi dengan volume senyawa yang semula digunakan adalah sama dengan hasil kali konsentrasi senyawa tersebut dalam volume setelah pengenceran.

Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3 gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air (Aditya, 2009). Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+. Pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik, yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan anionnya. Fenol didapatkan melalui oksidasi sebagian pada benzena atau asam benzoate dengan proses Raschig, Fenol juga dapat diperoleh sebagai hasil dari oksidasi batu bara. Fenol dapat digunakan sebagai antiseptik seperti yang digunakan Sir Joseph Lister saat mempraktikkan pembedahan antiseptik. Fenol merupakan komponen utama pada anstiseptik dagang, triklorofenol atau dikenal sebagai TCP (trichlorophenol). Fenol juga merupakan bagian komposisi beberapa anestitika oral, misalnya semprotan kloraseptik (Aditya, 2009).

Fenol berfungsi dalam pembuatan obat-obatan (bagian dari produksi aspirin, pembasmi rumput liar, dan lainnya. Fenol yang terkonsentrasi dapat mengakibatkan pembakaran kimiawi pada kulit yang terbuka. Penyuntikan fenol juga pernah digunakan pada eksekusi mati. Penyuntikan ini sering digunakan pada masa Nazi, Perang Dunia II. Suntikan fenol diberikan pada ribuan orang di kemah-kemah, terutama di Auschwitz-Birkenau. Penyuntikan ini dilakukan oleh dokter secara penyuntikan ke vena (intravena) di lengan dan jantung. Penyuntikan ke jantung dapat mengakibatkan kematian langsung (Aditya, 2009).

Telah dilakukan perbandingan koefisien fenol turunan aldehid (formalin dan glutaraldehid) dan halogen (iodium dan hipoklorit) terhadap mikroorganisme Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi yang resisten terhadap ampisilin dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan dari disinfektan turunan aldehid dan halogen yang dibandingkan dengan fenol dengan metode uji koefisien fenol . Fenol digunakan sebagai kontrol positif, aquadest sebagai kontrol negatif dan larutan aldehid dan halogen dalam pengenceran 1 : 100 sampai 1 : 500 dicampur dengan suspensi bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi resisten ampisilin yang telah diinokulum, keburaman pada tabung pengenceran menandakan bakteri masih dapat tumbuh. Nilai koefisien fenol dihitung dengan cara membandingkan aktivitas suatu larutan fenol dengan pengenceran tertentu yang sedang diuji. Hasil dari uji koefisien fenol menunjukan bahwa disinfektan turunan aldehid dan halogen lebih efektif membunuh bakteri Staphylococcus aureus dengan nilai koefisien fenol 3,57 ; 5,71 ; 2,14 ; 2,14 berturut-turut untuk formalin, glutaraldehid, iodium dan hipoklorit, begitu juga dengan bakteri Salmonella typhi, disinfektan aldehid dan halogen masih lebih efektif dengan nilai koefisien fenol 1,81 ; 2,72 ; 2,27 dan 2,27 berturut-turut untuk formalin, glutaraldehid, iodium dan hipoklorit.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah stopwatch, lampu spiritus, jarum ose, peralatan gelas(tabung reaksi, rak tabung reaksi, dan pipet) dan inkubator.

Bahan yang digunakan adalah kultur Staphylococus aureus, fenol 5%, Super pel 4%, KNC, dan aquades.

B. Cara kerja

· Membuat pengenceran seri desinfektan uji dan fenol dengan cara sebagai berikut:

Fenol 5% (ml)

Aquades (ml)

Volume (ml)

Dikurangi (ml)

Volume akhir (ml)

Pengenceran yang dicapai

2

6

8

3

5

1:80

2

7

9

4

5

1:90

2

8

10

5

5

1:100







Super Pel 4% (ml)

Aquades (ml)

Volume (ml)

Dikurangi (ml)

Volume akhir (ml)

Pengenceran yang dicapai

1

9

10

5

5

1:250

1

10

11

6

5

1:275

1

11

12

7

5

1:300

· Memasukkan 5 ml fenol dan Super pel hasil pengenceran tersebut pada tabung reaksi dan diberi label sesuai dengan pengenceran.

· Meletakkan secara berurutan pada rak tabung reaksi antara fenol dan Super Pel dipisah.

· Secara cepat dan aseptic memasukkan 1 tetes bakteri S. aureus pada setiap tabung reaksi yang berisi desinfektan tersebut, mulai dari pengenceran terendah.

· Menyiapkan 18 tabung reaksi berisi 5-10 ml KNC steril dalam 2 seri yaitu seri 1 (fenol 1:80, 1:90, dan 1:100 masing-masing ada 3 yaitu 5,10, dan 15 menit) dan seri kedua yaitu Super Pel pengenceran 1:250, 1:275 dan 1:300 masing-masing ada 3 yaitu 5,10 dan 15 menit.

· Setelah 5 menit bakteri tersebut berada di dalam larutan fenol/Super Pel, mensubkulturkan bakteri tersebut dengan cara mengambil 1 ose larutan bakteri tersebut dari setiap tabung dan memasukkan ke dalam KNC yang telah disiapkan.

· Setelah 5 menit kemudian (10 menit dalam larutan desinfektan) pindahkan lagi bakterinya pada medium KNC dengan teknik yang sama seperti langkah diatas.

· 5 menit berikutnya (15 menit mikroba dalam desinfektan), melakukan hal yang sama seperti diatas.

· Menghomogenkan campuran mikrobia tersebut dalam medium agar merata.

· Menginkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam.

· Mengamati adanya pertumbuhan (kekeruhan) dengan tanda + = ada pertumbuhan dan tanda - = tidak ada pertumbuhan dengan mencatat pada tabel di bawah.

· Menentukan koefisien fenol dari Super Pel untuk S. aureus dengan cara membagi pengenceran paling tinggi dari kresol yang mematikan S. aureus dalam 10 menit (bukan dalam 5 menit) dengan pengenceran fenol yang mematikan S. aureus pada kondisi yang sama.

C. Rancangan Percobaan

1. Pengenceran Fenol

2. Pengenceran Super Pel



3. Penanaman Mikroba pada larutan Fenol



4. Penanaman mikroba pada larutan Super Pel



5. Pemindahan pada larutan KNC







6. Pemindahan pada larutan KNC







7. Inkubasi Pada incubator selama 48 jam





Semua kultur dari semua konsentrasi

8. Setelah 48 jam diamati dan dicatat ada tidaknya pertuumbuhan pada table dibawah ini:

Tabel pengamatan uji koefisien fenol.

Pengenceran desinfektan

Ada/tidaknya pertumbuhan bakteri (menit)

5

10

15

Fenol

1:80




1:90




1:100




Kresol

1:250




1:275




1:300




BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 4.1. Hasil pengamatan Koefisien Fenol

Pengenceran

Ada/tidaknya pertumbuhan bakteri subkultur (menit)

5

10

15

Fenol

1 : 80

+

+

+

1 : 90

+

+

+

1 : 100

+

+

+

Kresol / disinfektan

(Super Pel)

1 : 250

+

+

+

1 : 275

+

+

+

1 : 300

+

+

+

B. Analisis

Berdasarkan hasil pengamatan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa semua bahan uji baik fenol ataupun kresol/desinfektan (Super Pel) ditumbuhi bakteri. Hal ini ditunjukkan dengan tanda plus (+) yang artinya bakteri dapat hidup dan tumbuh pada bahan uji tersebut ditandai dengan adanya kekeruhan pad larutan yang diujikan. Pengamatan ini dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam. Adapun pengenceran fenol yang digunakan ialah 1 : 80, 1 : 90, 1 : 100. Sedangkan pengenceran kresol (Super Pel) yang digunakan ialah masing-masing 1 : 250, 1 : 275, 1 : 300. Dan penanaman bakteri dengan interval masing-masing 5 menit.

C. Pembahasan

Bakteri yang telah dimasukkan ke dalam 6 tabung besar berisi pengenceran fenol tadi kemudian dipindahkan lagi dari tiap tabung besar tersebut ke dalam 6 tabung reaksi kecil yang berisi Nutrient Broth, sebanyak satu ose. Setiap tabung besar memiliki 6 tabung kecil sehingga jumlah tabung kecil yang berisi Nutrient Broth adalah sebanyak 36 tabung. Pemindahan suspensi bakteri dari tabung besar dilakukan dengan menggunakan ose yang sudah difiksasi sebelumnya. Setelah difiksasi, ditunggu beberapa saat sebelum mengambil bakteri, agar suhu ose tidak terlalu panas dan bakteri tidak mati. Tetapi perlu diingat juga bahwa ose tidak boleh terlalu lama didiamkan agar ose tidak terkontaminasi dengan bakteri dari udara. Penanaman bakteri dilakukan pada interval 5 menit antar tabung kecil, dengan urutan tabung A1 hingga F1 dahulu, baru kemudian A2 hingga F2 dan seterusnya. Penanaman bakteri pada tabung F bersamaan dengan penanaman pada tabung A selanjutnya. Jadi, tabung F1 bersamaan dengan tabung A2. Karena waktu yang diperlukan dalam menguji kekuatan fenol adalah 18-24 jam, sedangkan untuk kekuatan mata untuk melihat dan mengawasi tidak mungkin selama itu, maka digunakan waktu tertentu dengan metode kontak secara konvensional, waktu yang paling cepat adalah 2,5 menit, paling lama 15 menit. Sehingga waktu penanaman bakteri dalam NB dari tabung berisi fenol masing-masing berselang 5 menit hal ini dapat memperlihatkan perbandingan bahwa waktu kontak yang semakin lama akan mempengaruhi keefektifan fenol dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif.

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada larutan fenol yang telah diinokulasi bakteri tidak menyebabkan kematian bakteri. begitu pula pada larutan desinfektan yang juga tidak dapat membunuh bakteri gram negative yang ditanamkan di dalamnya. Hal ini dapat diketahui dengan adanya indikasi kekeruhan yang timbul dalam bahan uji.

Tumbuhnya semua bakteri pada bahan uji ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengamatan yang hasilnya berupa tanda plus (+) yang berarti pada tabung reaksi hasil pengenceran ditemukannya pertumbuhan bakteri subkultur (menit) baik pada pengenceran fenol maupun superpel. Hal ini bisa disebabkan karena tidak semua desinfektan dapat digunakan untuk pengendalian mikroorganisme secara umum. Desinfektan hanya cocok untuk mengendalikan mikroorganisme tertentu, tidak mampu mengendalikan mikroorganisme lain. Beberapa jenis desinfektan ada yang hanya efektif pada lapisan luar saja, ada yang memiliki daya kerja yang luas terhadap mikroorganisme dan ada pula yang hanya bisa mengatasi sejumlah kecil mikroorganisme. Pengguna desinfektan dituntut bisa melakukan pilihan secara tepat, sehingga minimal harus mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing desinfektan. Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap desinfektan. Hal ini disebabkan karena dinding spora bersifat impermeabel dan asam ribonukleat di dalam protoplasma memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh buruk dari desinfektan.

Faktor lain yang mempengaruhi gagalnya praktikum ini adalah kerja yang septis. Komunikasi saat proses kerja mungkin menjadi salah satu faktor gagalnya percobaan. Saat berkomunikasi, percikan air liur atau hembusan uap air dari hidung dan mulut akan menambah jumlah kuman yang tidak sebanding dengan daya bunuh desinfektan. Faktor lainnya kemungkinan disebabkan oleh peralatan yang tercemar/ tidak aseptis.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan yaitu :

1. Larutan fenol yang telah diinokulasi bakteri tidak menyebabkan kematian bakteri gram negative yang ditanam di dalamnya.

2. Larutan desinfektan yang telah diinokulasikan bakteri juga tidak dapat membunuh bakteri gram negative yang ditanamkan di dalamnya.

B. Saran

Saran yang dapat kami berikan selama praktikum ini adalah :

1. Penggunaan teknik aseptik pada saat penanaman bakteri pada larutan fenol dan desinfektan sangat dibutuhkan agar mendapatkan hasil optimal sesuai teori.

2. Hindari komunikasi saat proses kerja yang nantinya menjadi salah satu faktor gagalnya percobaan akibat penambahan jumlah kuman yang tidak sebanding dengan daya bunuh desinfektan.

3. Peralatan yang steril juga mendukung keberhasilan praktikum ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, 1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.

Hazny,filza. 2008. Uji Koefisien Fenol. (http://filzahazny.wordpress.com/2008/06/15/uji-koefisien-fenol. htm, tanggal diakses 12 Maret 2010 )

Imbang, Rahayu Dwi, DKK. 2000. Tindakan pencegahan penyakit. Diakses melalui http://tindakan_pencegahan/DKK.com tanggal 16 April 2010.

Salma, Tya Nur. 2009. Koefisien Fenol. Diakses melalui http://tyanursalma.blogspot.com/2009/10/koefisien-fenol.html, tanggal 16 April 2010.